BAB I
PENDAHULUAN
I.
Identifikasi Masalah
Museum
Sangiran yang berada di dalam area Situs Sangiran ini adalah museum situs yang
diperuntukkan dan dipersiapkan untuk menampung temuan-temuan dari situs
Sangiran yang luas wilayahnya ± 56 km² dan mencakup dua kabupaten, 4 kecamatan,
22 desa, dan 151 dusun. Karena wilayahnya berada di dua kabupaten, yaitu
kabupaten Sragen, dan kabupaten Karanganyar, maka penanganannya sampai saat ini
masih menjadi pertanggungjawaban pusat, yaitu Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata melalui UPT daerah, yaitu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Jawa Tengah yang berkedudukan di Prambanan.
Kawasan
Sangiran ditetapkan sebagai daerah cagar budaya pada tahun 1997 melalui Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan untuk melestarikan dan melindungi situs
Sangiran.
Selanjutnya
untuk meningkatkan status situs Sangiran di mata dunia, maka pada tanggal 25
Juni 1995, situs Sangiran telah dinominasikan ke UNESCO sebagai salah satu
Warisan Budaya Dunia dan dicatat dalam “World Heritage List” nomer 593 dengan
nama “ Sangiran Early Man Site”. (Dalam WHC-96/ Conf. 2201/ 21). Ketetapan ini
kemudian secara resmi disebarluaskan oleh UNESCO melalui UNESCO-PERS Nomor
96-215.
II.
Pembatasan Masalah
Nama
Situs Sangiran telah cukup terkenal diantara jajaran situs-situs manusia purba
lain di dunia, yang jumlahnya sangat terbatas. Situs Sangiran dianggap penting
karena memiliki beberapa keutamaan dibandingkan dengan situs-situs lain di
dunia. Situs Sangiran juga memiliki potensi yang cukup besar yang membuatnya
hingga saat ini selalu menjadi ajang penelitian dan studi evolusi manusia purba
oleh para ali dari berbagai penjuru dunia.
Koleksi-koleksi
yang dimiliki oleh situs Sangiran sangat beragam dan tetap utuh seperti saat
ditemukan, oleh karena kepandaian pihak pengelola museum Sangiran yang membagi
tiap-tiap temuan dalam 15 vitrin.
Keberadaan
situs Sangiran menjadi sebuah poin positif yang membanggakan nama Indonesia di
mata dunia. Semua itu dapat terjadi juga oleh peran serta pemerintah yang
bekerja sama dengan masyarakat yang berdampak situs Sangiran menjadi lebih baik
dari waktu ke waktu.
BAB II
HASIL
PENELITIAN
ΓΌ
Penyajian Data
III.
Sejarah Museum Sangiran
Sejarah
Museum Sangiran bermula dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Von
Koeningswald sekitar tahun 1930-an. Di dalam kegiatannya Von Koeningswald
dibantu oleh Toto Marsono, Kepala Desa Krikilan pada masa itu. Setiap hari Toto
Marsono atas perintah Von Koeningswald mengerahkan penduduk Sangiran untuk
mencari “balung buto” (Bahasa Jawa = tulang raksasa). Demikian penduduk
Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang berukuran besar yang telah membatu
yang berserakan di sekitar ladang mereka. Balung buto tersebut adalah fosil
yaitu sisa-sisa organisme atau jasad hidup purba yang terawetkan di dalam bumi.
Fosil-fosil
tersebut kemudian dikumpulkan di Pendopo Kelurahan Krikilan untuk bahan
pnelitian Von Koeningswald, maupun para ahli lainnya. Fosil-fosil yang dianggap
penting dibawa oleh masing-masing peneliti ke laboratorium mereka, sedang
sisanya dibiarkan menumpuk di Pendopo Kelurahan Krikilan.
Setelah
Von Koeningswald tidak aktif lagi melaksanakan penelitian di Sangiran, kegiatan
mengumpulkan fosil masih diteruskan oleh Toto Marsono sehingga jumlah fosil di
Pendopo Kelurahan semakin melimpah. Dari Pendopo Kelurahan Krikilan inilah
lahir cikal-bakal Museum Sangiran.
Untuk
menampung koleksi fosil yang semakin hari semakin bertambah maka pada tahun
1974 Gubernur Jawa Tengah melalui Bupati Sragen membangun museum kecil di Desa
Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Saragen di atas tanah seluas 1000 m².
Museum tersebut diberi nama “Museum Pestosen”. Seluruh koleksi di Pendopo
Kelurahan Krikilan kemudian dipindahkan ke Museum tersebut. Saat ini sisa
bangunan museum tersebut telah dirombak dan dialihfungsikan menjadi Balai Desa
Krikilan.
Sementara
di Kawasan Cagar Budaya Sangiran sisi selatan pada tahun 1977 dibangun juga
sebuah museum di Desa Dayu, Kecamatan Godangrejo, Kabupaten Karanganyar. Museum
ini difungsikan sebagai basecamp sekaligus tempat untuk menampung hasil
penelitian lapangan di wilayah Cagar Budaya Sangiran sisi selatan. Saat ini
museum tersebut sudah dibongkar dan bangunannya dipindahkan dan dijadikan
Pendopo Desa Dayu.
Tahin
1983 pemerintah pusat membangun museum baru yang lebih besar di Desa Ngampon,
Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Kompleks Museum ini
didirikan di atas tanah seluas 16.675 m². Bnagunannya antara lain terdiri dari
Ruang Pameran, Ruang Pertemuan/ Seminar, Ruang Kantor/ Administrasi, Ruang
Perpustakaan, Ruang Storage, Ruang Laboratorium, Ruang Istirahat/ Ruang Tinggal
Peneliti, Ruang Garasi, dan Kamar Mandi. Selanjutnya koleksi yang ada di Museum
Plestosen Krikilan dan Koleksi di Museum Dayu dipindahkan ke museum yang baru
ini. Museum ini selain berfungsi untuk memamerkan fosil temuan dari kawasan
Sangiran juga berfungsi untuk mengkonservasi temuan yang ada dan sebagai pusat
perlindungan dan pelestarian kawasan Sangiran.
Tahun
1998 Dinas Praiwisata Propinsi Jawa Tengah melengkaspi Kompleks Museum Sangiran
dendan Bnagunan Audio Visual di sisi timur museum. Dan tahun 2004 Bupati Sragen
mengubah interior Ruang Knator dan Ruang Pertemuan menjadi Ruang Pameran
Tambahan.
Tahun
2003 Pemerintah pusat merencanakan membuat museum yang lebih representative
menggantikan museum yang ada secara bertahap. Awal tahun 2004 ini telah selesai
didirikan bangunan perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang basemen
untuk gudang, lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran. Program
selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk penerimaan
pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan, perpustakaan, taman
purbakala, dan lain-lain.
IV.
Koleksi Museum Sangiran
Koleksi
yang ada di Museum Situs Manusia Purba Sangiran saat ini, semua berasal dari
sekitar Situs Sangiran. Saat ini jumlah koleksi seluruhnya ± 13.808 buah.
Koleksi tersebut akan selalu bertambah karena setiap musim hujan, bumi Sangiran
selalu mengalami erosi yang sering menyingkapkan temuan fosil dari dalam tanah.
Koleksi
yang ada di Museum Sangiran antara lain berupa fosil manusia, fosil hewan,
fosil tumbuhan, batu-batuan, sediment tanah, dan juga peralatan batu yang dulu
pernah dibuat dan digunakan oleh manusia purba yang pernah bermukim di Sangiran,
contohnya fosil tengkorak buaya, fosil kura-kura, fosil ikan, dan fosil
kepiting. Temuan fosil ikan Hiu menunjukkan bahwa Kawasan Sangiran pernah
digenangi oleh air laut. Lingkungan ini kemudian berubah menjadi danau dan
rawa-rawa dengan bukti temuan fosil buaya dan kura-kura, dan kepiting.
V. Fosil
Kayu
Selain
sisa-sisa manusia dan binatang purba, di kawasan Cagar Budaya ditemukan pula
sisa-sisa batang pohon yang telah menjadi fosil. Pada vitrin ini dipamerkan
Fosil Batang Pohon dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kec. Gondangrejo, Kab.
Karanganyar, yang ditemukan tahun 1955 dan Fosil Batang Pohon dari Desa
Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen, yang ditemukan tahun 1977. Keduanya dari
Formasi Pucangan.
VI.
Tengkorak Pithecanthropus VIII
(Sangiran 17)
Fosil
tengkorak Homo Erectus terlengkap hingga saat ini yang pernah ditemukan di
Indonesia. Terdiri dari tempurung, kepala, bagian muka, dan rahang atas dengan
gigi prageraham (premolar 4), taring (canine) kiri, serta geraham (molar 1-3)
kanan.
Fosil
ditemukan di sebelah selatan kali Pucung, Desa Dayu, Kec. Gondangrejo, Kab.
Karanganyar. Secara geologis fosil ini diperkirakan berumur 700.000 tahun yang
lalu. (Copy dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung).
VII. Alat-alat Batu
Manusia
purba yang hidup di Sangiran menggunakan batu sebagai peralatan. Temuan alat
batu di Situs Sangiran membuktikan tentang adanya adaptasi manusia purba
terhadap lingkungannya. Ditemukan “bakalan” kapak batu di daerah Sangiran,
membuktikan bahwa alat-alat batu tersebut tidak didatangkan dari tempat lain.
Adapun alat-alat batu yang ditemukan di Sangiran antara lain : serpih dan
bilah, serut dan gurdi, bakalan kapak batu, beliung perrsegi, kapak perimbas,
bat inti, dan bola batu.
1. Serpih
dan Bilah. Alat yang dibuat dengan memecah batu menjadi serpihan. Serpihan
panjang disebut bilah, digunakan seperti pisau, untuk memotong ataupun
menguliti binatang buruan.
2. Serut
adalah alat serpih untuk menyerut, dan Gurdi adalah alat batu untuk
melobangi.
3. Beliung
Persegi merupakan alat batu yang sudah diperhalus dan dipergunakan sebagai
alat pertanian di jaman neolitik.
4. Bakal
Kapak Batu, yaitu bahan yang disiapkan untuk membuat kapak batu.
- Batu Inti merupakan bahan baku untuk membuat alat-alat batu seperti serpih dan bilah. Bahan baku yang biasa digunakan antara lain batuan tufa kersikan, batuan gamping kersikan, kwarsa, dll.
- Bola Batu, yaitu batuan yang mengalami pembulatan karena alam. Bola batu tersebut diperkirakan digunakan sebagai alat lempar.
BAB III
PENUTUP
VIII. Kesimpulan
- Von Koeningswald merupakan pelopor penelitian di Situs Sangiran.
- Kegiatan pelatihan mencari balung buto hingga saat ini masih terus dilakukan oleh masyarakat Sangiran bersama dengan para peneliti dari dalam maupun luar negeri.
- Tanggapan positif pemerintah oleh karena temuan-temuan di Situs Sangiranlah yang membuat pembangunan museum Sangiran berjalan lancar dan hingga saat ini pun masih dalam proses pembaharuan seiruing dengan hasil temuan yang terus bertambah setiap waktu.
- Fosil-fosil yang ditemukan oleh peneliti, dikeloka oleh pihak kantor museum Sagiran, kemudian dipajang di ruang-ruang pameran yang tersebar kedalam lima belas vitrin.
- Dari hasil table dan grafik pengunjung, dapat diketahui bahwa pengunjung yang datang ke museum Sangiran terus meningkat dari waktu ke waktu. Pengunjung pun tidak terbatas oleh umur dan jenis kelamin.