klik disini! ''Selamat beraktifitas di http://makotosekai.blogspot.com Jangan lupa klik Donasi Ya? klik disini! Karya Ilmiah Sangiran Laboratorium Data Base Otaku TKJ 48: Karya Ilmiah Sangiran Laboratorium

Karya Ilmiah Sangiran Laboratorium

| Senin, 18 Agustus 2014

BAB I
PENDAHULUAN
   I.      Identifikasi Masalah
Museum Sangiran yang berada di dalam area Situs Sangiran ini adalah museum situs yang diperuntukkan dan dipersiapkan untuk menampung temuan-temuan dari situs Sangiran yang luas wilayahnya ± 56 km² dan mencakup dua kabupaten, 4 kecamatan, 22 desa, dan 151 dusun. Karena wilayahnya berada di dua kabupaten, yaitu kabupaten Sragen, dan kabupaten Karanganyar, maka penanganannya sampai saat ini masih menjadi pertanggungjawaban pusat, yaitu Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata melalui UPT daerah, yaitu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah yang berkedudukan di Prambanan.
Kawasan Sangiran ditetapkan sebagai daerah cagar budaya pada tahun 1997 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan untuk melestarikan dan melindungi situs Sangiran.
Selanjutnya untuk meningkatkan status situs Sangiran di mata dunia, maka pada tanggal 25 Juni 1995, situs Sangiran telah dinominasikan ke UNESCO sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia dan dicatat dalam “World Heritage List” nomer 593 dengan nama “ Sangiran Early Man Site”. (Dalam WHC-96/ Conf. 2201/ 21). Ketetapan ini kemudian secara resmi disebarluaskan oleh UNESCO melalui UNESCO-PERS Nomor 96-215.
 II.      Pembatasan Masalah
Nama Situs Sangiran telah cukup terkenal diantara jajaran situs-situs manusia purba lain di dunia, yang jumlahnya sangat terbatas. Situs Sangiran dianggap penting karena memiliki beberapa keutamaan dibandingkan dengan situs-situs lain di dunia. Situs Sangiran juga memiliki potensi yang cukup besar yang membuatnya hingga saat ini selalu menjadi ajang penelitian dan studi evolusi manusia purba oleh para ali dari berbagai penjuru dunia.
Koleksi-koleksi yang dimiliki oleh situs Sangiran sangat beragam dan tetap utuh seperti saat ditemukan, oleh karena kepandaian pihak pengelola museum Sangiran yang membagi tiap-tiap temuan dalam 15 vitrin.
Keberadaan situs Sangiran menjadi sebuah poin positif yang membanggakan nama Indonesia di mata dunia. Semua itu dapat terjadi juga oleh peran serta pemerintah yang bekerja sama dengan masyarakat yang berdampak situs Sangiran menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
BAB II
HASIL PENELITIAN
ΓΌ  Penyajian Data
 III.            Sejarah Museum Sangiran
Sejarah Museum Sangiran bermula dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Von Koeningswald sekitar tahun 1930-an. Di dalam kegiatannya Von Koeningswald dibantu oleh Toto Marsono, Kepala Desa Krikilan pada masa itu. Setiap hari Toto Marsono atas perintah Von Koeningswald mengerahkan penduduk Sangiran untuk mencari “balung buto” (Bahasa Jawa = tulang raksasa). Demikian penduduk Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang berukuran besar yang telah membatu yang berserakan di sekitar ladang mereka. Balung buto tersebut adalah fosil yaitu sisa-sisa organisme atau jasad hidup purba yang terawetkan di dalam bumi.
Fosil-fosil tersebut kemudian dikumpulkan di Pendopo Kelurahan Krikilan untuk bahan pnelitian Von Koeningswald, maupun para ahli lainnya. Fosil-fosil yang dianggap penting dibawa oleh masing-masing peneliti ke laboratorium mereka, sedang sisanya dibiarkan menumpuk di Pendopo Kelurahan Krikilan.
Setelah Von Koeningswald tidak aktif lagi melaksanakan penelitian di Sangiran, kegiatan mengumpulkan fosil masih diteruskan oleh Toto Marsono sehingga jumlah fosil di Pendopo Kelurahan semakin melimpah. Dari Pendopo Kelurahan Krikilan inilah lahir cikal-bakal Museum Sangiran.
Untuk menampung koleksi fosil yang semakin hari semakin bertambah maka pada tahun 1974 Gubernur Jawa Tengah melalui Bupati Sragen membangun museum kecil di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Saragen di atas tanah seluas 1000 m². Museum tersebut diberi nama “Museum Pestosen”. Seluruh koleksi di Pendopo Kelurahan Krikilan kemudian dipindahkan ke Museum tersebut. Saat ini sisa bangunan museum tersebut telah dirombak dan dialihfungsikan menjadi Balai Desa Krikilan.
Sementara di Kawasan Cagar Budaya Sangiran sisi selatan pada tahun 1977 dibangun juga sebuah museum di Desa Dayu, Kecamatan Godangrejo, Kabupaten Karanganyar. Museum ini difungsikan sebagai basecamp sekaligus tempat untuk menampung hasil penelitian lapangan di wilayah Cagar Budaya Sangiran sisi selatan. Saat ini museum tersebut sudah dibongkar dan bangunannya dipindahkan dan dijadikan Pendopo Desa Dayu.
Tahin 1983 pemerintah pusat membangun museum baru yang lebih besar di Desa Ngampon, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Kompleks Museum ini didirikan di atas tanah seluas 16.675 m². Bnagunannya antara lain terdiri dari Ruang Pameran, Ruang Pertemuan/ Seminar, Ruang Kantor/ Administrasi, Ruang Perpustakaan, Ruang Storage, Ruang Laboratorium, Ruang Istirahat/ Ruang Tinggal Peneliti, Ruang Garasi, dan Kamar Mandi. Selanjutnya koleksi yang ada di Museum Plestosen Krikilan dan Koleksi di Museum Dayu dipindahkan ke museum yang baru ini. Museum ini selain berfungsi untuk memamerkan fosil temuan dari kawasan Sangiran juga berfungsi untuk mengkonservasi temuan yang ada dan sebagai pusat perlindungan dan pelestarian kawasan Sangiran.
Tahun 1998 Dinas Praiwisata Propinsi Jawa Tengah melengkaspi Kompleks Museum Sangiran dendan Bnagunan Audio Visual di sisi timur museum. Dan tahun 2004 Bupati Sragen mengubah interior Ruang Knator dan Ruang Pertemuan menjadi Ruang Pameran Tambahan.
Tahun 2003 Pemerintah pusat merencanakan membuat museum yang lebih representative menggantikan museum yang ada secara bertahap. Awal tahun 2004 ini telah selesai didirikan bangunan perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang basemen untuk gudang, lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran. Program selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk penerimaan pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan, perpustakaan, taman purbakala, dan lain-lain.
IV.      Koleksi Museum Sangiran
Koleksi yang ada di Museum Situs Manusia Purba Sangiran saat ini, semua berasal dari sekitar Situs Sangiran. Saat ini jumlah koleksi seluruhnya ± 13.808 buah. Koleksi tersebut akan selalu bertambah karena setiap musim hujan, bumi Sangiran selalu mengalami erosi yang sering menyingkapkan temuan fosil dari dalam tanah.
Koleksi yang ada di Museum Sangiran antara lain berupa fosil manusia, fosil hewan, fosil tumbuhan, batu-batuan, sediment tanah, dan juga peralatan batu yang dulu pernah dibuat dan digunakan oleh manusia purba yang pernah bermukim di Sangiran, contohnya fosil tengkorak buaya, fosil kura-kura, fosil ikan, dan fosil kepiting. Temuan fosil ikan Hiu menunjukkan bahwa Kawasan Sangiran pernah digenangi oleh air laut. Lingkungan ini kemudian berubah menjadi danau dan rawa-rawa dengan bukti temuan fosil buaya dan kura-kura, dan kepiting.
  V.      Fosil Kayu
Selain sisa-sisa manusia dan binatang purba, di kawasan Cagar Budaya ditemukan pula sisa-sisa batang pohon yang telah menjadi fosil. Pada vitrin ini dipamerkan Fosil Batang Pohon dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kec. Gondangrejo, Kab. Karanganyar, yang ditemukan tahun 1955 dan Fosil Batang Pohon dari Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen, yang ditemukan tahun 1977. Keduanya dari Formasi Pucangan.
VI.      Tengkorak Pithecanthropus VIII (Sangiran 17)
Fosil tengkorak Homo Erectus terlengkap hingga saat ini yang pernah ditemukan di Indonesia. Terdiri dari tempurung, kepala, bagian muka, dan rahang atas dengan gigi prageraham (premolar 4), taring (canine) kiri, serta geraham (molar 1-3) kanan.
Fosil ditemukan di sebelah selatan kali Pucung, Desa Dayu, Kec. Gondangrejo, Kab. Karanganyar. Secara geologis fosil ini diperkirakan berumur 700.000 tahun yang lalu. (Copy dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung).
   VII.   Alat-alat Batu
Manusia purba yang hidup di Sangiran menggunakan batu sebagai peralatan. Temuan alat batu di Situs Sangiran membuktikan tentang adanya adaptasi manusia purba terhadap lingkungannya. Ditemukan “bakalan” kapak batu di daerah Sangiran, membuktikan bahwa alat-alat batu tersebut tidak didatangkan dari tempat lain. Adapun alat-alat batu yang ditemukan di Sangiran antara lain : serpih dan bilah, serut dan gurdi, bakalan kapak batu, beliung perrsegi, kapak perimbas, bat inti, dan bola batu.
1. Serpih dan Bilah. Alat yang dibuat dengan memecah batu menjadi serpihan. Serpihan panjang disebut bilah, digunakan seperti pisau, untuk memotong ataupun menguliti binatang buruan.
2. Serut adalah alat serpih untuk menyerut, dan Gurdi adalah alat batu untuk melobangi.
3. Beliung Persegi merupakan alat batu yang sudah diperhalus dan dipergunakan sebagai alat pertanian di jaman neolitik.
4. Bakal Kapak Batu, yaitu bahan yang disiapkan untuk membuat kapak batu.
  • Batu Inti merupakan bahan baku untuk membuat alat-alat batu seperti serpih dan bilah. Bahan baku yang biasa digunakan antara lain batuan tufa kersikan, batuan gamping kersikan, kwarsa, dll.
  • Bola Batu, yaitu batuan yang mengalami pembulatan karena alam. Bola batu tersebut diperkirakan digunakan sebagai alat lempar.
BAB III
PENUTUP
  VIII. Kesimpulan
  • Von Koeningswald merupakan pelopor penelitian di Situs Sangiran.
  • Kegiatan pelatihan mencari balung buto hingga saat ini masih terus dilakukan oleh masyarakat Sangiran bersama dengan para peneliti dari dalam maupun luar negeri.
  • Tanggapan positif pemerintah oleh karena temuan-temuan di Situs Sangiranlah yang membuat pembangunan museum Sangiran berjalan lancar dan hingga saat ini pun masih dalam proses pembaharuan seiruing dengan hasil temuan yang terus bertambah setiap waktu.
  • Fosil-fosil yang ditemukan oleh peneliti, dikeloka oleh pihak kantor museum Sagiran, kemudian dipajang di ruang-ruang pameran yang tersebar kedalam lima belas vitrin.
  • Dari hasil table dan grafik pengunjung, dapat diketahui bahwa pengunjung yang datang ke museum Sangiran terus meningkat dari waktu ke waktu. Pengunjung pun tidak terbatas oleh umur dan jenis kelamin.
Comments
0 Comments
Next Prev
▲Top▲