klik disini! ''Selamat beraktifitas di http://makotosekai.blogspot.com Jangan lupa klik Donasi Ya? klik disini! kisah romantis Data Base Otaku TKJ 48: kisah romantis

kisah romantis

| Minggu, 06 April 2014
Hallo semua... padahal rencananya saya mau nulis sekuel buat fic saya yang sebelumnya. Tapi, malah nulis yang baru gini. Tak apalah, dibaca saja yah?
Declaimer       @ Masashi Kishimoto
Story   : Tulip Kuning
Pair     : SasuInoGaa
First Shoot
............................................................................................................................................................
"Ne? Kenapa kau menutup mataku?" tanya seorang siswi kelas satu Konoha Gakuen yang tengah ditutup matanya dengan telapak tangan, oleh salah satu teman laki laki sekelasnya.
"Ada kejutan untukmu," begitulah perintah teman laki lakinya itu.
Beberapa langkah diambil mereka berdua melewati koridor sekolah. Tangan kiri pemuda itu menyentuh bahu si gadis sementara tangan kanannya menutup penglihatan si gadis. Dari belakang, pemuda itu menuntun si gadis berjalan. Tak lupa memperingatkannya untuk berhati hati bila harus melangkahi sesuatu.
Begitu seterusnya hingga mereka sampai di dekat tangga.
"Pelan-pelan. Di depanmu ada tangga. Gerakkan kaki kananmu lebih dulu,"
Si gadis menurut. Kaki kanannya ia angkat perlahan. Diikuti kaki kirinya.
Kemudian dirasakannya pemuda yang di belakangnya, mengikutinya melangkah menaiki tangga.
Berulang kali pemuda itu terus mengingatkan untuk berhati hati ketika menaiki tangga, hingga mereka sampai di tangga paling atas. Pemuda itu dengan seulas senyumnya masih menutup mata si gadis, dirasakannya bulu mata si gadis yang bergerak gerak di telapak tangannya, pertanda gadis itu ingin segera membuka matanya.
Begitu mereka tepat di depan sebuah pintu, tangan kiri pemuda itu beralih pada kenop pintu dan memutarnya.
CKLEK
Pintu terbuka, menampilkan cahaya yang datang begitu menyilaukan bagi pemuda itu sendiri, karena hanya ia yang terbuka matanya kala itu.
Tangan kirinya yang bebas kembali menyentuh bahu kiri si gadis untuk kembali menuntunnya berjalan.
Selang beberapa langkah mereka ambil, akhirnya mereka berhenti juga.
"Sudah sampai," ujar pemuda itu tepat di telinga si gadis. Dirasakannya si gadis yang sedikit terlonjak, ia baru saja terkejut.
Dengan perlahan dan senyum yang masih mendominasi bibirnya, pemuda itu menurunkan tangan kanannya, memberi akses si gadis atas matanya sendiri.
Dan perlahan juga, mata yang sempat ditutup itu, membuka kelopaknya, menampilkan kembali iris biru samudra dan-
"Otanjoubi omedetou, Ino!"
keterkejutan yang luar biasa karena ucapan -ralat- sedikit teriakan ulang tahun yang serempak disampaikan padanya. Tangannya menutup mulutnya yang menganga tak percaya begitu melihat apa yang tengah terjadi.
Di depannya, sebuah kue tart mini beserta lilinnya dan seorang Gaara -teman sekelasnya belum terlalu akrab dengannya-, tengah memegang kue tart tersebut. Tak lupa, sebuah senyum tipis muncul di bibir pemuda berambut merah itu.
Sementara itu, di sampingnya, berdiri seorang pemuda yang tadinya menuntun ia kemari yang juga adalah teman sekelasnya yang tak terlalu akrab dengannya, namanya Sasuke.
Hanya mereka berdua yang ada di tempat itu, alias atap sekolah, --selain Ino, nama gadis tadi tentunya--.
Sebenarnya, perayaan ulang tahun seperti ini tidaklah asing baginya, karena ia sendiri juga menyukai apa itu yang namanya pesta. Tapi yang membuatnya terkejut sangat adalah siapa yang yang merayakan ulang tahunnya kali ini.
"Tiup lilinnya, Ino!" perintah Gaara membuyarkan keterkejutan Ino. Tangannya menyodorkan kue tart berlilin itu.
Dengan sedikit membungkuk, Ino meniup lilin itu. Dan sebuah tepukan singkat diterimanya dari Sasuke yang memang terbebas dari membawa apapun. Tak lupa, senyum juga didapatnya dari kedua pemuda itu.
Tiba tiba gerakan singkat Sasuke membuatnya sedikit terkejut, pemuda itu menyodorkan dua tangkai bunga mawar putih dan mawar biru -yang entah dimana ia menyembunyikannya sedari tadi- pada Ino.
Alis Ino mengernyit, matanya masih terpaku pada dua bunga mawar indah itu, seakan menangkap sesuatu yang janggal. Mawar putih dan..biru?
"Kado untukmu, dariku," kata Sasuke.
Masih dengan ekspresi bingungnya atas kejadian yang baru saja menimpanya ini, akhirnya Ino menerima bunga itu.
"Ano.. gomen. Kenapa kalian melakukan ini?" tanya Ino hati hati.
Baik Sasuke maupun Gaara saling pandang, yang kemudian tersenyum tipis dengan sedikit seringaian.
Sasuke kembali menatap Ino.
"Sebenarnya ada yang ingin Gaara bicarakan denganmu," kata Sasuke. Kemudian, diambilnya kue tart dari tangan Gaara.
Ino pun mengalihkan perhatiannya pada Gaara, masih dengan mimik bingung. Pemuda berambut merah itu merogoh sesuatu dari celana seragamnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah disodorkan Gaara tepat di hadapan Ino. Tangan kanannya yang terbebas, memegang bagian atas benda kecil itu, bersiap untuk membukanya.
TAK
Mata Ino sukses terbelalak melihat sepasang kalung berbandul hati yang tertangkap indera penglihatannya dari kotak merah yang dibuka oleh Gaara. Namun, apa yang dikatakan Gaara setelahnyalah yang membuatnya lebih terkejut lagi.
"Jadilah pacarku!"
...Dua tahun kemudian...
"Ne.. Ino-chan! Gimana wisata-nya? Mumpung kita belum lulus nih..," ujar seorang siswi berambut coklat dengan cepol dua, sambil menepuk bahu Ino.
Yah, kini Ino, gadis berambut pirang panjang yang selalu diikat ponytail tinggi, dan Tenten, sahabatnya telah menginjak bangku kelas tiga Konoha Gakuen.
Beberapa bulan ke depan, mereka dan teman sekelas 3-A akan berpisah karena kelulusan, oleh karena itu, mereka berencana untuk berwisata bersama khusus anak kelas 3-A saja, bersama wali kelas mereka tentunya.
"Tenten-chan, bilang saja kau ingin segera berduaan dengan Neji saja, iya kan?"
ejekan Ino membuat Tenten menggerutu, diikuti tawa dari teman teman Ino yang lain.
"Udah deh. Sana! Usulin ke ketua kelas stoic itu! Kau kan sekertaris-nya, pasti didengerin tuh,"
Kini gantian Ino yang menggerutu atas tingkah temannya itu. Pasalnya, hampir semua teman wanitanya takut pada Sasuke, si ketua kelas yang dimaksud. Pemuda itu memang tampan, tapi death glare-nya itu membuat para gadis menjauh.
Dan alasan mengapa teman teman Ino memilih Ino untuk menanyakannya -selain karena posisi Ino adalah sekertaris-, karena Ino terlihat tak takut dengan pemuda yang dinobatkan menjadi ketua kelas itu.
Terlebih lagi, saat pemilihan sekertaris kelas, tanpa pikir panjang, si ketua kelas -alias Sasuke- langsung memilih Ino. Jadi, muncullah praduga, bahwa Ino sudah berteman baik dengan ketua kelas serta wakilnya, -yang notabene adalah sahabat si ketua-, Gaara. Walau berpraduga seperti itu, tak ada yang tahu bahwa Ino dan wakil ketua kelas telah menjalin hubungan semenjak kelas satu. Mereka berdua pun tak berniat untuk menjadikannya official, yang berarti hanya mereka berdua -plus Sasuke- yang mengetahui hubungan keduanya.
"Ayo, cepat! Sana!"
"Iya iya, Ten!"
Ino pun berjalan menuju bangku Sasuke yang berada di deretan paling depan, sementara ia sendiri duduk di deretan nomer tiga dari depan. Biasalah, namanya juga orang pintar, pasti mencari duduk paling depan demi mendapat semua materi guru tanpa terkecuali, so typical Sasuke.
Begitu Ino sampai di samping duduk Sasuke -yang tengah membaca buku-, tak perlu menepuk pundak atau hal lainnya, Sasuke sudah lebih dulu menoleh, membuat Ino bicara to the point.
"Ne, ketua! Bagaimana rencana wisatanya?"
"Semua sudah setuju?" tanya balik Sasuke yang mendapat anggukan singkat dari Ino.
Belum sempat Sasuke angkat bicara, seseorang menginterupsi mereka dari samping Ino.
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Aah, Gaara. Kami hanya membicarakan rencana wisata kelas kita, kok. Mau ikut?" tanya Ino pada si penanya yang tak lain tak bukan adalah Gaara, pacar Ino.
"Tentu saja, aku wakilnya bukan?" ujarnya.
Baik Ino maupun Gaara mengalihkan atensi mereka pada Sasuke yang kembali angkat bicara,
"Baiklah! Beritahu mereka, sepulang sekolah kita akan berunding lebih dulu,"
Sasuke tersenyum, kemudian kembali pada kegiatannya sebelumnya.
Ah! Andai ia tahu, senyum itu telah memunculkan semburat merah tipis di pipi gadis yang tepat berada di sebelahnya ini. Ya, benar. Sejak pertama kali Ino mengenal ketua kelasnya, ia langsung jatuh hati padanya. Cinta pandangan pertama kah? Ya, Ino telah mengakuinya sendiri, cinta pada pandangan pertama. Namun, cinta itu harus ia relakan pergi sebelum sempat ia utarakan pada Sasuke. Alasannya mudah, pemuda itu secara tidak langsung membuatnya patah hati. Tepatnya dua tahun lalu, bertepatan saat Gaara menembaknya, Sasuke -yang katanya demi sahabatnya- juga memintanya untuk menerima Gaara.
Entah alasan apa yang membuat Sasuke begitu antusiasnya ingin membantu Gaara menyatakan cintanya waktu itu, tapi, tindakannya itu telah menimbulkan luka di hati Ino. Hingga membuat Ino terpaksa menerima Gaara, sebagai pacarnya.
Namun, siapa yang tahu, kalau gadis bermarga Yamanaka itu masih menyimpan sedikit rasa pada pemuda itu? Ia belum berhasil membuang cintanya pada Sasuke, sepenuhnya.
"Kalau begitu, aku akan konsultasi dengan Kakashi-sensei. Mungkin dia juga punya ide bagus," sahut Gaara yang membuyarkan lamunan Ino.
Beberapa minggu telah berlalu. Kelas 3-A memutuskan untuk berwisata bersama ke Fukuoka. Walau membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang tak sedikit untuk sampai di sana, kelas 3-A tetap melakukan niatnya, karena pada dasarnya sebagian besar penduduk 3-A termasuk orang ber-uang.
Selain itu pun, beberapa dari mereka yang pernah menikmati indahnya wisata Fukuoka tak merasa keberatan walau harus berwisata lagi ke tempat yang sama, karena tahun ini tahun terakhir mereka bersama sebagai penghuni 3-A, jadi mereka takkan menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja.
"Beres deh," ujar salah satu siswi berambut coklat dengan cepol dua, Tenten, yang baru saja selesai merapikan bawaannya di sebuah kamar tempat penginapan mereka.
Beberapa teman wanitanya yang lain hanya mengangguk. Di antara mereka ada yang langsung tertidur dan ada yang sengaja ngobrol dengan teman yang lain.
Yah, liburan musim dingin telah tiba, dimana kelas 3-A menjalankan rencana liburan mereka. Dan kini, mereka telah sampai di penginapan yang sengaja mereka pesan untuk waktu yang kurang lebih hanya seminggu di Fukuoka.
"Ino! Mau kemana? Sudah larut lho," tanya Tenten begitu mengetahui teman pirangnya beranjak pergi. Yang ditanya berbalik serta melempar senyum.
"Ada yang harus kubicarakan dengan ketua dan wakil ketua. Aku pergi dulu, Jaa-ne,"
Kemudian Ino pergi. Menjauh dari kamarnya. Jaketnya ia eratkan demi mencari sensasi hangat di musim dingin ini.
Ia menelusuri roka sambil sesekali melihat pemandangan malam dan kemudian berjalan kembali ke area penginapan pria. Namun, begitu sampai di area dekat taman, sebuah siluet menghentikannya,
"Mau kemana, Nona?" tanya siluet itu tepat di depannya, menghalangi jalannya.
"Gaara? Kau sendiri mau kemana?" tanya Ino balik. Yang ditanya hanya mendelik.
"Hei, mana jawabanku, Nona?" tanya Gaara.
Perlahan sosok yang dipanggil Gaara itu mengeliminasi jarak di antara mereka dan menautkan dahi mereka serta memberikan seringaian pada Ino.
"Ck, jangan menggodaku. Malu tau,"
Ino menjauhkan diri dari Gaara, membuat Gaara sedikit lunglai karena kehilangan tumpuannya.
"Hei hei!"
Bukannya mengindahkan panggilan Gaara, Ino malah berjalan ke pinggiran roka dan duduk di sana serta memandang taman dan langit malam yang cukup indah.
Gaara mengikuti, ia mengambil duduk di samping Ino.
"Kenapa keluar malam-malam begini? Kau bisa sakit nantinya," ujar Gaara memberi perhatian.
"Aku hanya ingin menemui kalian berdua, membahas rencana besok," jawab Ino dengan santainya. Pandangannya masih mengarah pada kolam yang berada di taman di depannya. Sementara Gaara, sedari tadi memandangi pemilik surai pirang kekasihnya di sampingnya. Pun begitu, Ino sama sekali tak menyadarinya.
"Kita kan bisa membicarakan besok. Istirahatlah! Kau pasti lelah, perjalanan tadi cukup melelahkan," Gaara kembali memberi perhatian.
"Aah ya, aku akan beritahu teman teman kalau begitu," tambah Ino.
Tangannya terulur di pundak Ino, mengelusnya, dan memberinya kehangatan di malam yang dingin. Ia begitu menyayangi gadis di sampingnya ini. Rasanya, apapun akan ia lakukan demi perempuan yang mampu memikat hatinya tiga tahun lalu. Senyum pun muncul di bibirnya.
Sementara Ino, ia masih terdiam, membiarkan Gaara melakukan apa yang ingin dilakukannya. Dalam hatinya, ia merasa senang mendapat perhatian kekasih seorang Gaara, tapi di sisi lain ia merasa bersalah karena seakan hatinya terus membohongi pemuda itu.
"Ayo! Kuantar kau ke kamarmu," ajak Gaara. Mereka pun sama-sama berdiri.
"Tak usah. Aku bisa sendiri, kok,"
Ino pun berbalik meninggalkan Gaara, namun dengan cepat Gaara menarik pergelangan tangan Ino sebelum gadis itu pergi, membuatnya kembali bertatapan dengan Gaara.
"Jangan pergi dulu. Cium aku!"
"Hah?" Sontak saja, Ino terkejut. Namun, belum sempat ia merespon..
CUP
Sebuah kecupan singkat mendarat di pipi putih Ino.
"Night, Barbie,"
Gaara pun berlangsung pergi. Masih berdiri di tempatnya, Ino memandang punggung Gaara yang semakin menjauh, hingga tertelan kegelapan malam.
"Aaah, apa yang baru saja dilakukannya?" gumam Ino kemudian berbalik pergi. Namun, tak dapat dipungkiri, semburat merah tipis senantiasa menghiasi pipi putihnya.
...
"YAY, MOMOCHI," teriak beberapa siswa-siswi kelas 3-A begitu mereka berada di Momochi. Perjalanan dari penginapan menuju Momochi sekitar tiga puluh menit jalan kaki, jadi di antara mereka ada yang naik sepeda hasil pinjam dari pemilik penginapan serta ada yang memilih jalan kaki sambil melihat-lihat area sekitar mereka.
Dan begitu mereka sampai, semua bersorak dan langsung melepas bawaan mereka serta berlari menembus pasir pantai.
"Ino-chan, sini ikut bermain!" teriak Tenten yang berlari menuju hamparan pasir pantai basah pada teman pirangnya.
"Iya, Ten! Aku datang,"
"Main voli, yuk!"
"Ketua! Ikutan yow!"
Begitulah keriangan para siswa 3-A.
Mereka terlihat begitu bahagia.  Kebersamaan mereka hanya kali ini saja, esok dan seterusnya mereka harus menyiapkan diri demi ujian akhir dan ujian masuk universitas, saat-saat yang tidak bisa dianggap remeh.
"Sensei jadi wasitnya, yah?" teriak seorang gadis berambut merah ranjang sambil melambai-lambaikan tangannya. Sementara yang dipanggil hanya berjalan tanpa dosa dengan buku Icha-Icha-nya ke lapangan kecil di tengah-tengah pantai tempat gadis itu serta beberapa siswa-siswi lainnya bersiap untuk voli.
"Jalan yang cepat dong, Sensei. kulempar bola loh," rengek siswi lainnya. Mungkin berkata seperti itu merupakan hal tabu pada umumnya, namun pengecualian untuk kelas satu ini. Selain karena guru mereka yang kelewat muda, sikap menyebalkan guru bermasker itu juga membuat para murid tak lagi canggung atau sungkan di hadapan pria itu. Mereka justru menikmatinya.
"Baiklah, kalian siap?" seru Kakashi, guru mereka.
"SIAP!"
...
Tiga hari liburan telah berlalu. Berbagai objek wisata di Fukuoka sudah sebagian yang mereka kunjungi. Menyisakan lelah namun senang pada para penghuni 3-A tersebut.
Dan di senja hari, hari ketiga ini, dua orang pemuda serta seorang gadis yang berjalan di antara mereka, tengah menikmati angin senja di jalanan penghubung Fukuoka dan pulau Shikanojima bersama. Mereka tak berniat pergi hingga ke pulau kecil itu, mereka hanya ingin menikmati kebersamaan mereka.
"Senja yang indah. Aku ingin mengambil gambarnya, ah!" pekik gadis itu yang kemudian berlari ke pinggiran demi mengambil gambar sunset yang begitu indah saat ini.
Dua pemuda di belakangnya hanya tersenyum kemudian mengambil posisi tepat di samping gadis itu.
Angin bersemilir lembut menerpa surai pirang si gadis, membuat si empunya seakan ikut terbawa angin. Tangannya ia begarkan, menikmati semilir angin. Sebuah senyum pun terbentuk di bibir merah muda-nya.
Tak lupa dengan kedua pemuda di sampingnya, mereka juga melakukan hal yang hampir sama dengan gadis itu. Mata mereka sama-sama tertutup, senyum kecil mereka pancarkan.
"Ukh, kenapa kita tidak foto bersama saja? Mumpung lagi bareng nih?" usul si gadis ceria.
Diambilnya sebuah ponsel ungu dari dalam saku dress mininya. Lalu, dirangkulnya kedua lengan pemuda di sampingnya, dan tanpa persetujuan kedua pemuda tersebut, ia mengambil gambar mereka bertiga.
"Smilee!"
JPRET(?)
Layaknya sikap orang pada umumnya, gadis itu memandang gambar kecil yang terpampang di ponselnya begitu gambar selesai diambil. Sebuah gambar mereka bertiga, dua orang pemuda berambut merah dan raven bersama seorang gadis berambut pirang panjang di tengah-tengah kedua pemuda tersebut. Senyum simpul pun muncul. Namun, dari gambar itu pula, ia merenggut,
"Nee.. ketua! Kau minim ekspresi sekali, sekali-kali tersenyum dong," rengek gadis itu pada pemuda di samping kanannya. Pemuda itu hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban acuh sang gadis. Namun, jangan lupakan seringaian yang muncul di bibirnya.

Masih dengan sedikit kekesalan di mimik gadis itu, tiba-tiba sebuah tangan merangkulnya dari arah kirinya, kekasih gadis itu merangkulnya.
"Tak apa, Ino-chan. Dia memang seperti itu," katanya lembut. Si gadis lantas menoleh, namun, wajah cemberut belum juga lepas dari bibirnya.
Mereka kembali menikmati sunset mereka. Bagi Ino, entah mengapa, rangkulan sang kekasih yang bertengger di pundaknya semakin erat.
Namun, bukan itu yang menjadi pikirannya saat ini. Sebuah tangan kekar lain menggenggam tangan kanannya yang terbebas, tangan kekar milik pemuda lain di samping kanannya. Entah mengapa pemuda itu melakukannya, yang pasti hal itulah penyebab asli munculnya sebuah senyum kecil di bibir Ino. Ia menyukainya. Sejak awal memang inilah yang diinginkannya. Hanya saja, bagaimana dengan pemuda itu sendiri? Punyakah ia rasa yang sama yang dirasakan Ino terhadapnya?
Lalu mengapa ia menggenggam tangannya sama eratnya dengan rangkulan Gaara, kekasihnya?
Tak ingin kehilangan momen seperti ini, dibalasnya genggaman itu. Walau Ino tak menatap langsung pemuda itu, tapi ia berharap semoga senyum muncul di bibir pemuda itu dan sebuah arti rasa yang dipendamnya dapat tersalurkan melalui genggaman tangan mereka. Rasa cintanya, rasa antara sepasang insan manusia yang berbeda.
'Bisakah kau membalas perasaanku, Sasuke?'
Semoga saja.
...
"Kalian berdua! Tunggu!" panggil seorang pemuda berambut merah bata pada dua siswi lain yang tengah berjalan menuju kamar putri.
Kedua siswi itu berhenti, lantas berbalik, mendapati wakil ketua kelas mereka berjalan --agak berlari-- ke arah mereka.
"Matsuri-san! Rin-san! Tolong beritahu Ino untuk ke beranda dekat taman besok pagi tepat seusai sarapan pagi. Dan jangan katakan kalau hal ini dariku," kata pemuda itu dengan sedikit senyumnya.
Sebuah debaran jantung yang tiba-tiba saja muncul, membuat si gadis yang dipanggil Matsuri tadi mengangguk singkat. Senyum manis tak dapat disembunyikannya dari pemuda di depannya saat ini. Memang hari sudah hampir malam, namun semburat tipis di kedua pipinya masih terlihat jelas. Tapi, adakah yang menyadarinya?
Tak ada, tak ada yang menyadari hal sekecil itu.
Merasa urusannya selesai, pemuda itupun berbalik dan pergi, tak lupa lambaian tangan ia sampaikan pada kedua siswi tersebut.
"Hei! Jangan bengong terus. Ayo kembali ke kamar!" sentak Rin pada Matsuri. Bahkan ia sampai memainkan tangannya di depan wajah gadis bersurai coklat itu demi mendapatkan perhatiannya.
Lagipula, gadis mana yang tak luluh dengan pemuda tampan, sopan, dan lumayan agak murah senyum seperti barusan? Dan Matsuri termasuk kelompok dari 'gadis' yang dimaksud.
"Ah, iya! Ayo, Rin-chan,"
...
Sesuai yang dikatakan teman sekamarnya tadi malam, Ino berjalan sendiri ke beranda dekat taman, beranda yang ia gunakan untuk melihat pemandangan malam di malam pertamanya di Fukuoka bersama Gaara.
Entah mengapa, selain jaket --karena musim dingin tentunya-- ia juga membawa dompet, ponsel, dan tas selempang kecil tempat kedua benda tadi ditaruh. Firasat mungkin? Entahlah. Yang pasti, karena sebagian besar tempat wisata di Fukuoka telah dikunjunginya bersama teman sekelasnya, untuk hari kelima dan keenam, semua siswa 3-A dibiarkan untuk menikmati momen mereka sendiri-sendiri. Ada dari mereka yang pergi ke tempat wisata belanja, ada pula yang kembali ke tempat wisata lain bersama kelompoknya masing-masing. Dan hari ini, Ino punya firasat seseorang akan mengajaknya keluar, entah kemana.
Begitu ia sampai di tempat perjanjian, sebuah siluet tengah berdiri tegak di tempat itu, kedua tangannya ia masukkan ke saku jaketnya, matanya memandang tepat area taman.
"Ketua?" panggil Ino.
...
Pagi yang cerah, suasana yang indah, dan semilir angin yang menyejukkan, walau sedikit dingin.
Sambil menikmati kopi susu hangat, dua orang duduk bersebelahan di sebuah bangku taman Uminonakamichi Park, tak jauh dari pulau Shikanojima. Merasa jenuh dengan kesunyian di antara mereka, Ino, nama salah satu dari kedua remaja tersebut, bicara, "Kenapa tak mengajak Gaara?"
Pemuda di sampingnya menoleh, kopi susunya kini tinggallah wadah dan ia buang.
"Dia keluar kamar lebih awal. Begitu kuikuti, dia sudah menghilang,"
"Ooh,"
Mereka pun kembali dalam kesunyian.
Tiba-tiba Sasuke berdiri dan menarik lengan Ino.
GREB
"Eh?"
"Kita sewa sepeda dulu, lalu jalan-jalan,"
Tanpa bicara banyak lagi, Sasuke menggandeng lengan Ino menuju tempat pemesanan sepeda. Mereka memilih sebuah sepeda yang terdapat tumpangannya untuk berdua.
Angin bersemilir. Udaranya begitu memenangkan. Posisi Fukuoka yang berdekatan dengan lintang tropis, membuat suhunya tak sedingin daerah subtropis utara, dan Ino maupun Sasuke tak perlu lagi mengeratkan jaket mereka yang kini bertengger nyaman di keranjang depan sepeda.
Sasuke pun mulai mengayuh sepeda. Ino duduk menyamping dengan nyamannya di belakangnya. Berat Ino yang tak seberapa tak menyulitkan Sasuke menjalankan laju sepeda mereka. Apalagi jalanan taman yang tak menanjak, pelan-pelan pun mereka takkan terjatuh.
Aah, andai tak ada status hubungan penghalang di antara mereka, mungkin Ino dengan senang hati --atau malah akan-- melingkarkan tangannya di perut pemuda itu. Sayang sekali, kini tangannya pun hanya sekedar menggenggam kaos milik pemuda itu, mencari keseimbangannya dari sana.
"Sayangnya bunga-bunganya menguncup di musim dingin ini ya?" kata Ino sekedar memecah keheningan.
"Hn. Kau menyukai bunga?"
Ino mengangguk.
"Sangat,"
Percakapan singkat itu terhenti. Entah sengaja atau tidak, laju sepeda mereka semakin pelan. Ino tak keberatan, ia menikmatinya. Sebentar lagi, tahun kelulusan, mungkin setelahnya ia takkan bertemu lagi dengan pemuda ini. Momen berdua mereka seperti inilah yang akan sangat dirindukannya.
"Bunga apa yang kau sukai?"
Ino sedikit tersentak mendapat tanya itu.
"Err, aku suka semua bunga yang berbau harum. Terutama bunga mawar putih dan merah," jawab Ino sambil tersenyum. Kakinya ia gerakkan mengikuti irama gerakan sepeda mereka.
"Kau tahu artinya?" tanya Sasuke lagi. Ino mengulum sedikit senyum simpul, ia merasa aneh, Sasuke yang biasanya diam, tumben sekali tertarik dengan pembicaraan semacam ini.
"Tumben sekali ne, Ketua. Rasanya bukan seperti dirimu yang biasanya," ujar Ino.
"Jangan memanggilku seperti itu,"
"Kenapa?"
Ino bergerak, membuat sepeda mereka sedikit kehilangan keseimbangannya. Untung Sasuke mampu menanganinya.
"Panggil namaku saja. Dan.. kau belum menjawab tanyaku," sahut Sasuke.
"Hmm..," Ino mengangguk. Tangan putihnya ia letakkan di dagunya layaknya orang yang baru saja menemukan penyelesaian masalah.
"Baiklah Sasuke, kau ingin tahu arti bunga apa? Kalau mawar putih dengan warna merah di tengahnya bermakna penyatuan, penyatuan kedua cinta insan yang saling mencintai," lanjutnya.
Sasuke terdiam sebentar, lalu kembali angkat bicara, "Bunga apa yang menandakan kesedihan?"
"Tergantung. Kalau seseorang itu sedih karena patah hati, lili kuning mewakili perasaannya. Kalau sedih karena dihianati atau dibohongi, mawar kuning cocok untuknya,"
"Kalau kau?" tanya Sasuke. Membuat Ino mendelik bingung seketika.
"Apa maksudmu? Kalau aku sedih, aku cukup duduk di bawah sakura di atas bukit Nara, itu saja. Aku tak perlu bunga atau apapun. Memang apa maksudmu sebenarnya?"
Ino menatap pemuda di depannya, lebih tepatnya punggung pemuda itu.
Sasuke hanya mengedikkan bahu.
"Bukan apa-apa,"
Ino ber-oh-ria sambil kembali menatap pinggiran jalan taman yang dilewatinya.
"Pegangan yang erat!" perintah Sasuke tiba-tiba. Sontak saja, membuat Ino kembali menatapnya bingung.
"Ha?"
"Aku akan mempercepat laju sepedanya tepat ke bukit itu,"
"Ap--," belum sempat ia merespon perkataan Sasuke, sepeda sudah melaju lebih cepat. Refleks Ino melingkarkan kedua lengannya di perut Sasuke kalau tak ingin ia terjatuh. Matanya sedikit tertutup takut. Gerakan Sasuke benar-benar cepat.
Taman Uminonakamichi atau biasa disebut Uminonakamichi Park, merupakan taman terbaik di Fukuoka. Pemandangannya indah. Banyak berjajar pohon sakura di samping jalan masuk. Walau musim masih musim dingin, namun hal itu tak mengurangi kesenangan para pengunjung Uminonakamichi Park. Termasuk kedua insan yang sedang tertawa bahagia sambil menaiki sebuah sepeda, tangan gadis itu terlihat melingkar erat di perut pemuda yang memboncengnya. Sementara sebuah seringaian kecil muncul di bibir pemuda itu. Tak dapat dipungkiri, mata pemuda itu juga menyiratkan kebahagiaan.
Tapi, benarkah mereka sedang bersenang-senang?
"KYAA.. Sasuke! Pelan dong,"
...
"Yang tadi itu kau benar-benar hampir membunuhku, Ketua!" pekik Ino pada pemuda di sampingnya sambil menampilkan wajah kesalnya.
Mereka tengah duduk di pinggiran danau kecil buatan yang tak jauh dari Uminonakamichi Park.
Namun, walau mendapat komentar seperti itu, Sasuke yang duduk di sampingnya hanya mengedikkan bahu acuh sambil menjawab santai, "Kau menikmatinya bukan?"
"Ck, aku takut tahu!"
Senyum simpul muncul di bibir Sasuke.
"Sudah ah! Aku ingin pulang!"
Ino langsung beranjak berdiri dan berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, memang dasarnya musimnya musim dingin, tanah di sekitarnya pun menjadi sangat licin, membuat gesekan yang terlewat halus antara sepatu kets-nya dengan tanah itu. Hingga tiba-tiba ia terpeleset dan—
"KYAAA.."
BYUUR
...
Entah parfum apa yang dipakainya, tubuhnya harum, wangi mint, khas seorang laki-laki. Dari balik punggung itu, Ino dapat menciumnya. Ino dapat merasakannya bahwa kali ini jantungnya berpacu kencang mengingat apa yang dilakukan pemuda itu padanya.
"Sasuke! Kau tak perlu menggendongku,"
"Bodoh! Kakimu terkilir, mana mungkin aku membiarkanmu berjalan sendiri," sanggah pemuda itu.
Kejadian di danau tadi membuat kaki Ino terkilir. Dengan terpaksa Sasuke harus menggendongnya pulang. Ia merasa tak enak. Pemuda itu telah menolongnya dari tenggelam, dan kini pemuda itu malah bersikeras menggendongnya dari taman menuju penginapan, yang mana jarak antara kedua tempat tersebut tak bisa dibilang pendek.
"Kau kedinginan, Sasuke?" tanya Ino dari balik punggung Sasuke.
"Hn,"
"Gomen ne~,"
Tak ada jawaban sama sekali. Ino semakin merasa bersalah. Tapi, mungkin saat ini hanya kata 'maaf' yang mampu dilakukannya.
Mereka dalam perjalanan pulang ke penginapan. Bicara mengenai penginapan, tiba-tiba ingatannya kembali ke saat-saat sebelum ia memutuskan untuk pergi dari penginapan yang justru berakhir dengan kecelakaan kecil seperti ini.
"Sasuke! Apa kau yang memintaku pergi ke beranda tadi pagi?" tanya Ino.
Sasuke sedikit menggerakkan kepalanya ke belakang, pertanda pemuda itu mendengarkan.
"Tidak," jawabnya.
Mata Ino sedikit melebar. Kalau bukan Sasuke, lalu siapa? Gaara kah?
Ah, mengingat nama kedua pemuda itu tak lantas membuatnya merasa lebih baik. Beberapa waktu lalu, ia sempat terlupakan oleh sosok pemuda berambut merah bata. Ino benar-benar merasa bebas dan bahagia. Ia bisa menampakkan ekspresi naturalnya, walau Sasuke sempat mengerjainya tadi.
Jujur, ia memang menyayangi pemuda bermarga Sabaku itu, tapi ia mencintai orang lain, orang yang tepat menggendongnya saat ini.
Gaara begitu menyayanginya, Ino tahu itu. Ia pun juga menyayanginya. Selain itu, Gaara mencintainya, sangat malahan. Tapi, ia tak mampu membalas rasa cinta itu. Ia tak bisa.
Tanpa disadarinya, pelukannya di leher Sasuke semakin erat. Wajahnya ia sembunyikan di balik leher pemuda itu.
Kalau dipikir, salahkah ia mengambil keputusan ini? Salahkah ia menerima pernyataan Gaara tiga tahun lalu? Salahkah ia yang tak mengindahkan panggilan hatinya untuk tetap menyukai Sasuke dan malah menerima Gaara sebagai kekasihnya? Salahkah ia?
Sambil terisak, Ino menyadari kegundahannya. Ia terlambat, semua sia-sia saja. Tak ada harapan baginya. Ia telah membuat seseorang menaruh harap padanya, menaruh hati padanya, bahkan dalam waktu yang tak bisa dibilang singkat. Dan kalaupun ia merubah haluan hidupnya sekarang, Gaara akan tersakiti, sangat tersakiti. Ia akan menyakitinya.
Ia tahu, tak seharusnya ia menyimpan rasa itu pada Sasuke. Ia tahu, cintanya pada pemuda itu salah. Ia harus menghilangkannya. Tapi, mampukah ia?
Hatinya seakan tercabik-cabik. Sejak awal, semua ini salahnya. Ia salah mengambil keputusan.
Tanpa disadarinya, air mata mengalir deras dari dua matanya yang terpejam. Entah pemuda yang tengah menggendongnya kini menyadari kelakuannya atau tidak, ia tak peduli. Mungkin hanya ini kesempatan terakhirnya dengan pemuda yang dicintainya diam-diam selama tiga tahun ia menjalin hubungan dengan pemuda lain. Ia tak ingin melewatkannya begitu saja.
Tangannya yang sempat mengendur kembali mempererat pelukannya di leher Sasuke. Toh, pemuda itu tak keberatan, bergeming, sama sekali tak keberatan.
‘Kami-sama. Biarlah waktu berhenti cukup lama. Kumohon, setelah ini aku akan menebus dosaku yang telah membohongi Gaara. Izinkan aku dengan pemuda ini lebih lama saja, kumohon,’
"Ne, Sasuke-kun. Hal apa yang paling kau sukai?" tanya Ino tersenyum, walau mungkin takkan dilihat Sasuke.
Sasuke sedikit mendongak sambil menjawab, "Yang paling kusukai? Emm, entahlah. Sudah lama aku tak memikirkannya,"
Ino mengernyit heran.
"Nee...bukan dipikirkan, tapi dirasakan,"
"Beritahu aku! Apa yang kau sukai, Sasuke-kun?" tambah Ino.
"Emm..apa ya? Emm.. kalau aku menyukai bunga, apa kau akan membenciku?"
Sasuke menoleh ke samping, tepat bertatapan dengan Ino. Senyum muncul di bibir Sasuke.
"A-apa maksudmu? Tentu saja aku tak membencimu. Tapi, itu aneh sekali. Kau benar-benar menyukai bunga?"
"Aku menyukai bunga, hanya saja bunga itu sangat langka dan...bukan bunga sembarangan," jawab Sasuke sambil kembali menatap depan.
Sementara Ino, ia tampak bingung, terlihat dari salah satu tangannya yang menyentuh dagunya.
"Bunga langka? Bunga apa itu? Ciri-cirinya bagaimana?" tanya Ino sekali lagi.
"Bunga itu terlihat biasa, tapi bagiku sangat cantik. Warna luarnya berwarna-warni.
Tapi, di tengahnya berwarna putih," kata Sasuke.
"Bagian luar berwarna-warni dan di dalamnya berwarna putih? Bunga apa?" gumam Ino bingung. Namun, sejurus kemudian, senyum kembali muncul di bibirnya, menggantikan kebingungannya.
Tangannya kembali ia tautkan dan memeluk Sasuke erat. Sunyi kembali menyelimuti mereka. Hanya langkah kaki Sasuke yang mengisi suasana sore mereka. Walau sunyi, tapi bagi Ino terasa nyaman. Ia tak lagi memikirkan bunga yang dimaksud Sasuke. Semua pertanyaannya hanya sekedar pengelabuhan demi mengisi waktu bersamaannya dengan pemuda itu. Momen-momen yang berharga baginya.
"Sasuke-kun."
"Hn?"
"Er..tidak jadi deh,"
"Apa maksudmu?"
"Tidak jadi ya tidak jadi,"
"Kheh, kau ini,"
Senyum yang sempat muncul, kembali merekah di bibir Ino. Walau Sasuke pendiam, tapi ia selalu merespon kata-katanya. Begitu saja, ia sudah sangat senang. Sangat senang.
'Kami-sama. Biarlah waktu berhenti lebih lama. Lebih lama lagi,'
TBC
Hehe. Tinggal satu shoot lagi..

Mind to R n R?
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲